Cerpen Buatan Sendiri

Bulan ini, saya diberi tugas oleh guru Bahasa Indonesia saya untuk membuat sebuah cerpen dan harus ditampilkan di blog. Karena itu, anggaplah anda beruntung karena akan melihat cerpen langka yang saya buat :D.

Akan tetapi, karena cerpen ini masih dalam tahap pembuatan, saya masih memberikan beberapa cuplikan atau cicilan cerpen sambil menunggu versi finalnya yang akan ditampilkan maksimal tanggal 17 Mei 2011. Selamat menikmati ^^.


UPDATE 5/16/2011

Akhirnya cerpennya selesai juga, berikut adalah cerpennya, selamat menikmati ya...


SANG PENDAKI
Karya : Muhammad Azhar Luthfi

Persiapanku selesai. Pakaian, kompas, pisau saku, tali, kapak-es, terpal dan peralatan mendaki lainnya telah kusimpan rapi di dalam ransel 60 literku. Aku, Afrie Suryawinata akan menggoreskan kembali sejarah pemuda Indonesia yang meraih puncak gunung Everest!
Dengan bantuan universitas tempat aku kuliah -Institut Teknologi Bandung-, aku dan dua orang sahabatku, Fathir dan Iwan bisa mendapat kesempatan langka untuk mengibarkan sang Merah Putih di puncak Everest. Aku, Fathir dan Iwan adalah anggota Keluarga Pencinta Alam ITB yang telah berpengalaman dalam mendaki gunung Indonesia.
Hari ini, kami akan berangkat menuju Jakarta untuk terbang ke Kathmandu, ibu kota Nepal. Sebelumnya, kami telah diperkenalkan dengan Ivanovich -yang lebih senang dipanggil Ivan untuk menyamarkan umur- pria asal Rusia yang akan memimpin kami mendaki gunung Everest. Ivan telah berpengalaman mendaki gunung Everest. Dia telah melakukan 5 pendakian sukses yang membuat namanya terkenal di dunia.
Di Kathmandu, kami kembali terbang menuju Lukla, desa tempat persinggahan terakhir kami sebelum melakukan pendakian panjang menuju Everest. Kami harus berjalan kaki melalui beberapa desa, diantaranya Namche Bazaar, Khumjung dan Dingboche. Kami diharuskan untuk beristirahat di Dingboche selama 3 hari sebelum akhirnya kami memulai perjalanan menuju Everest Base Camp, tempat kami beristirahat dan menyesuaikan diri dengan keadaan Everest.
****
Everest Base Camp. Pertama kali aku mendengar tempat ini, aku membayangkan bangunan-bangunan seperti rumah yang dibuat sebagai penginapan khusus pendaki. Salah Besar.
EBC ternyata hanyalah kumpulan tenda yang diletakkan di atas bebatuan Everest. Awan tebal menyelimuti gunung Everest, seolah mencegahku melihat keindahannya lebih awal. Di sini, kami para pendaki akan menyesuaikan tubuh kami dengan keadaan di gunung Everest atau lebih dikenal dengan sebutan aklimatisasi. Ivan mengatakan padaku kalau kami akan berlatih menambah ketinggian dengan tiga tahap.
Pada tahap pertama, kami akan melakukan pendakian ke Lobuche East Peak  lalu kembali lagi ke base camp. Selanjutnya, kami akan melakukan pendakian ke Camp 2 Everest selama 3 hari. Tahap ketiga adalah tahap terakhir aklimatisasi dimana kami akan mendaki sampai dengan Camp 3. Dari Camp 3, kami akan kembali turun ke base camp untuk mempersiapkan pendakian kami yang sebenarnya menuju puncak Everest.
Wow, pikirku. Serumit itukah persiapannya? Aku akan tinggal di tempat ini selama berminggu-minggu. Kuharap aku bisa melakukannya sebaik mungkin.
****
Dua minggu telah aku lalui di perkemahan ini dengan menjelajahi dasar gunung, berlari bersama pendaki lain dan memulai pendakian-pendakian menuju camp 2  dan camp 3 yang dipimpin Ivan. Kami melakukan permulaan yang baik. Kami telah cukup menyesuaikan diri dengan keadaan Everest.
Malamnya, aku, Iwan, dan Fathir sedang bersantai di tenda menikmati pemandangan bintang-bintang yang bertaburan di langit Everest.
“Afri, Ivan memberitahu kita kalau besok kita akan mulai pendakian utama. Apa kamu yakin bakal mampu?”Iwan bertanya padaku.
“Tentu saja, bodoh. Kalau aku tak yakin, aku sudah mengundurkan diri sejak dulu.”
“Kenapa memangnya wan? Kamu ngerasa nggak sanggup?” tanya Fathir.
“Bukan gitu, cuma ada firasat nggak enak.”
“Sudah, nggak usah dipikir, yang penting kita bisa seneng di sini.”aku berusaha menenangkannya.
****
Hari pertama pendakian Everest yang sesungguhnya telah dimulai. Pagi sekali aku bangun dan mempersiapkan segala alat yang aku perlukan. Helm, Kapak-es, sepatu khusus pendaki, ransel, makanan, tali dan berbagai perlengkapan pendaki telah kusiapkan. Oh iya, tak lupa aku membawa sang Merah Putih yang akan dikibarkan di Puncak Everest.
Ivan, pemandu kami dan beberapa orang sherpa atau pemandu gunung lainnya telah siap dan memberikan pengarahan lagi. Tujuan pertama kami adalah camp 1 yang terletak 640 meter di atas base camp.
Pendakian hari ini cukup baik. Khumbu Icefall, daerah yang rawan kecelakaan karena memiliki banyak crevasse. Crevasse atau rekahan es adalah suatu celah besar dan dalam yang ditimbulkan oleh pergeseran es dan bebatuan gunung. Cuaca hari ini sangat mendukung kami untuk bisa melihat banyaknya crevasse di kanan dan kiri jalur kami mendaki, sehingga kami dapat melewatinya dengan mudah. Mungkin ada sedikit insiden kecil ketika kapak-es, alat penancap milik salah seorang sherpa jatuh ke kedalaman crevasse.  Mustahil untuk diambil kembali, tentu saja.
Camp 1 telah dicapai pada jam 17.00. Perkemahan adalah tempat yang paling ditunggu olehku, mengingat dinginnya salju Everest, hangatnya api akan jauh lebih baik.
       Salju mulai turun ketika kami bersiap membangun tenda. Tiba-tiba salju mulai mengganas dan membentuk badai salju yang hampir saja menerbangkan peralatan mendaki kami.
Aku bisa merasakan mukaku penuh oleh salju, perih dan dingin bercampur. Salju berkumpul di rambut hitamku yang sedikit ikal sehingga membuat rambutku tampak seperti beruban.
                “Siaga! Tahan tenda-tenda itu!” . “Baik pak!”
Suara Ivan kembali terdengar, disusul seruan Fathir
Sulit melihat di saat malam hari, apalagi ditambah badai salju yang menerpa perkemahan kami. Yang bisa kuandalkan hanyalah insting dan pendengaran.  Dalam hati aku berharap semoga badai ini segera berakhir.
****
Hari ke-2. Berbeda dengan malam kemarin, hari ini kami mendaki disertai cuaca yang bagus.
Namun sayangnya keadaan tak sebaik itu.
Ketika kami baru mendaki sekitar 200 meter, gemuruh terdengar di kejauhan.
“Suara apa itu?”Iwan bertanya.
Tak ada yang menjawab. Semua orang yang kuperhatikan menunjukkan raut wajah yang sama, bingung bercampur cemas.
Gemuruh terdengar lagi, namun sekarang lebih keras dan disusul dengan getaran hebat.
Aku melihat di kejauhan.
Longsor menyerbu.
“Gawat, berlindung di balik bebatuan! CEPAT!” Ivan memerintahkan.
Sialnya, di saat kritis seperti ini aku tak dapat menemukan batu besar. Pada saat yang sama, aku berbalik putus asa melihat longsoran salju yang menyerbu seperti kawanan banteng.
Cepat sekali! pikirku.
CRASH!
Hantaman longsor salju ditambah dinginnya salju membuatku mati rasa dan terjatuh meluncur ke dasar gunung.
Segera aku tancapkan kapak-es milikku untuk mengurangi kecepatan jatuhku, tetapi nampaknya sia-sia, kapak-es itu hanya menggesek permukaan salju. Hantaman longsor salju itu terlalu kuat untuk ditahan dengan satu tangan.
Aku berusaha meminta tolong, tetapi sepertinya longsor salju menyebabkan aku mengatakan "Trruolnnggg!"
Tak lama, aku merasa melayang di udara. Tak ada salju di bawah badanku, aku telah mencapai ujung tebing. Aku terjatuh bebas ke dasar gunung dan melihat longsoran salju itu jatuh. Kupejamkan mataku, menunggu tulangku remuk. 
KREK!
Ukh! Tiba-tiba perutku terasa sakit. Tali penghubung kami ternyata menahan jatuhnya tubuhku. Segera kulihat ke atas, longsoran salju itu telah hilang, digantikan oleh pandangan khawatir teman-temanku. Ternyata Ivan yang menahan tubuhku. “Kau bisa naik, nak?”dia bertanya padaku.
“A-akan kucoba.” kataku. Aku mulai menggoyangkan tubuhku yang tidak terlalu besar ke dinding tebing. Cukup sulit, tapi aku berhasil menancapkan kapak-es pada dinding gunung itu, dan kutancapkan crampon -alat berduri pembantu pendakian yang disimpan di sepatuku- pada dinding es. Setelah mendapatkan posisi yang mantap, aku mulai menaiki tebing itu.
Sesampainya di atas, mereka semua merasa lega aku selamat.
“Bagaimana pengalaman pertamamu nyaris mati?”Ivan bertanya padaku.
“Tidak buruk juga, pak.” jawabku sambil tersenyum lega.
“Ingat nak, perjalananmu masih panjang.” Setelah mengatakan itu ia berbalik dan mengisyaratkan kami untuk melanjutkan pendakian menuju camp 2.
Aku kembali melihat tebing yang hampir merenggut nyawaku tadi. Bulu kudukku bergidik. Fathir menepuk pundakku. “Ayo pria ajaib, kita lanjutkan pendakian kita lagi.”
      ****
Hari ke-3. Sepertinya puncak Everest masih enggan menampakkan wujudnya di depan mata kami. Camp 2 telah kami capai. Sekarang tiba waktunya berangkat menuju camp 3. Hamparan padang salju telah menunggu kami, berbeda dengan jalur sebelumnya yang kebanyakan berupa dinding curam berlapis salju.
****
                Hari ke-4. Camp 3 merupakan camp yang tak bisa dijelajahi seperti camp sebelumnya. Akuhanya bisa diam di dalam tenda menghabiskan waktu mengobrol dan bermain bersama.
Puncak Everest semakin dekat! Pagi sekali kami berangkat menuju camp 4 yang terletak 600 meter di atas camp 3.
                Sekitar pukul 17.00 aku sampai di camp 4, camp terakhir Everest. Aku mengeluarkan  tabung dan masker oksigen milikku. Karena 100 meter di atas adalah Death Zone, ketinggian dimana manusia tak sanggup lagi beraklimatisasi dengan keadaan di sekelilingnya, selain itu, oksigen di atas sangat tipis, sekitar satu per tiga dari kadar oksigen yang ada di permukaan laut.
                Kami segera bersiap siap melakukan pendakian utama kami, dari camp 4 menuju puncak Everest yang akan dilakukan malam hari. Ivan mengatakan padaku pendakian ini akan dilakukan tengah malam, dengan harapan akan tiba di puncak jam 12.00.
****
                Malam itu sungguh menegangkan. Sumber cahaya kami hanyalah senter yang terpasang pada helm. Pendakian dilakukan sangat hati-hati, perlahan namun pasti.
Hingga akhirnya kami sampai di Hillary Step, celah dinding setinggi 30 meter, dengan kemiringan 60 derajat. Kondisi daerah ini menyempit, hanya bisa dilewati satu pendaki saja setiap saat, untuk orang yang berpostur ideal sepertiku saja itu sudah cukup sulit, harus mempunyai teknik yang tinggi.
Aku melihat jam. Pukul 07.00. Harus sampai 5 jam lagi.
Satu jam setelah mendaki di Hillary Step, muncullah yang ditunggu oleh kami semua. Ya, puncak gunung Everest telah menampakkan wujudnya di depan kami, sosok batu raksasa yang menjulang dengan gagahnya ke angkasa, diselimuti oleh salju, merupakan pemandangan yang dihadiahkan oleh Everest atas keberhasilan kami mendakinya.
Semangat kami muncul kembali. Tepat jam 12.00 kami mencapai puncak gunung Everest. Di sana kami saling berterimakasih, berfoto bersama, dan yang paling penting kami telah mengibarkan Sang Merah Putih pada puncak gunung Everest.
Indonesia, tanah airku…. Tanah tumpah darahku….
****
                Merasa gembira, kami bertiga lupa dengan tantangan terakhir yang harus kami lewati : menuruni gunung. Persediaan oksigen kami yang semakin menipis menjadi tantangan ekstra. Kami harus menuruni gunung menuju camp IV dengan sisa waktu 6 jam.
                “Ayo! Segera abadikan momen ini di kamera kalian dan lekas pergi dari sini! Kita tak punya banyak waktu!” perintah Ivan.
                Kami mulai menuruni gunung melewati Hillary Step lagi. Tak disangka, menuruni Hillary Step lebih sulit daripada menaikinya. Seharusnya kami berjalan perlahan, tetapi waktu tampaknya mengejar kami yang akan segera kehabisan oksigen.
                Aku berjalan di depan Fathir yang berjalan di paling belakang barisan. Kami melewati kembali rute yang sama, dengan sedikit dipercepat.
                Tiba-tiba aku merasa tali di belakangku tertahan. Refleks aku menengok ke belakang dan melihat Fathir yang tergeletak di salju.
                “Ivan, Iwan! Cepat ke sini!”aku memanggil mereka yang telah berjalan di depan.
                Mereka langsung berlari ke arahku, “Kenapa fri?”Iwan bertanya.
                “Si Fathir tiba-tiba jatuh nggak tahu kenapa!”
                Ivan membuka masker oksigen milik Fathir. Aku tersentak. Fathir tampak pucat pasi, mulutnya megap-megap.
                “Celaka, dia terkena High Altitude Cerebral Edema. Lihat, jejak kakinya seperti orang mabuk.” Ivan menjelaskan.
                High Altitude Cerebral Edema atau lebih dikenal dengan sebutan HACE sangat berbahaya, gejala ini merupakan salah satu penyakit ketinggian, sebagai hasil dari pembengkakan jaringan otak, dapat membuat orang pingsan. Biasanya disebabkan karena tidak memakai oksigen. Tak kusangka, di balik tubuh besarnya itu dia bisa terkena penyakit separah ini.
                “Kenapa dia bisa terkena HACE? Padahal dia sudah memakai masker oksigen.”Aku bertanya.  
Ivan memperlihatkan selang oksigen Fathir yang bocor padaku, memang hanya lubang kecil, tapi cukup fatal untuk para pendaki.
“Kita harus segera membawanya turun. Paling tidak dia harus diberi oksigen dahulu.”
Kami semakin mempercepat langkah menuju camp 4. Tepat 6 jam kami turun dari puncak Everest. Sekarang jam digitalku sudah menunjukkan waktu 18.00.
Fathir telah diberi oksigen, namun masih menunjukkan gejala-gejala HACE. Oleh karena itu, Ivan memutuskan untuk mengambil resiko langsung membawanya turun ke camp 2 hari ini, ditemani dengan salah satu sherpa kami. Itulah satu-satunya cara agar dia bisa diselamatkan.
****
Keesokan harinya kami kembali bersiap untuk turun langsung ke camp 2. Bagusnya, kami boleh melepas masker oksigen yang dari kemarin membebaniku. Yang tersisa sekarang hanyalah aku, Ivan, Iwan dan dua orang sherpa yang aku tak tahu namanya.
Tidak ada rintangan yang begitu berarti pada saat ini, jadi kami dapat tiba di camp 2 dengan selamat. Sherpa yang membawa Fathir pun mengatakan kalau Fathir telah dibawa dengan aman menuju base camp dan sedang mengalami perawatan.
“Mungkin ini firasat yang kau rasakan itu.”aku berkata pada Iwan di sela-sela waktu kosong.
Dia mengangkat bahunya. “Entahlah fri, aku merasakan akan ada sesuatu yang lebih berbahaya lagi.”
****
Sekarang tibalah saatnya kami turun ke base camp. Tinggal satu area berbahaya yang harus kami lewati. Khumbu Icefall.
Jam 8 pagi, kami sedang membereskan barang-barang untuk mengecek agar tidak ada yang tertinggal, dan salju mulai turun.
Saat kami telah menuruni gunung sejauh 100 meter, langit yang semula cerah berubah mendung-bukan oleh air- oleh salju. Jarak pandangan kami menurun hingga 10 meter. Kewaspadaan kami meningkat kembali.
Ivan yang memimpin di depanku menjadi semakin tak terlihat. Biasanya badannya yang kekar sangat mudah dilihat olehku. Namun sekarang hanya tali yang membimbingku mengetahui arah. 
Jam 1 siang kami melewati camp 1, yang sekarang tak lebih sebagai perkemahan kosong. Camp 1 sekarang hanya digunakan sebagai tempat transit, lalu kami bersiap menghadapi Khumbu Icefall.
 Jarak pandangan yang terbatas membuatku semakin tegang, khawatir akan ada crevasse yang membuat kami terjatuh.
Benar saja.
                KROSAK!
                Badai salju yang menutupi permukaan crevasse mengecoh penglihatan Iwan. Salju itu amblas ke dalam crevasse yang tak dapat aku lihat dasarnya.
                Iwan terjatuh ke dalam dan menarikku mendekati rekahan besar mengerikan.
                “TAHAN DIA AFRI! JANGAN LEPAS!”Ivan berteriak padaku. Aku bisa mendengar ia berlari ke arahku.
                Aku mencoba menahannya, tetapi tenagaku telah terkuras. Aku semakin tertarik hingga mencapai bibir crevasse.
                Aku menengok ke bawah. Kira-kira 10 meter di bawahku Iwan sedang berusaha meraih dinding crevasse dengan kapak-es miliknya. 
                Sialnya, salju yang kupijak ternyata bagian dari tipuan badai salju juga. Salju itu amblas dan aku pun ikut terjatuh ke dalam rekahan es.
                BRUK!
                Aku mendengar suara mengerikan itu. Seperti suara durian jatuh. Disusul dengan teriakan mengerikan Iwan. Kontan aku menengok ke bawah dan melihat kaki Iwan membentur dinding crevasse.
                “AAAARGH! KAKIKU!”
                Teriakan Iwan seolah dapat menyalurkan rasa sakitnya padaku. Kakiku jadi terasa ngilu juga.
                “Ivan! Tolong kami!” aku berusaha memanggil Ivan. Tapi tampaknya tali yang menahan beban kami semakin lama semakin turun.
                Hingga akhirnya tali itu putus.
                Aku dan Iwan jatuh ke dasar crevasse begitu cepat, hingga semua pandanganku menjadi gelap.
****
                Yang kulihat saat aku bangun adalah kegelapan crevasse. Aku mencoba menyalakan senter pada helm-ku.
                Dasar crevasse tampak suram. Stalaktit dan stalagmit yang terbuat dari es seolah bersiap menusuk badanku dari berbagai arah. Aku melihat ke atas, tapi tak dapat kulihat ujungnya.
                Lalu aku ingat apa yang terjadi. Saat aku terjatuh aku sempat menghantam dinding crevasse, tetapi untungnya aku mendarat di dasar yang empuk.
Segera aku ingat pada Iwan. Aku mencarinya.
                Di sana, 7 meter di depanku aku melihat Iwan tergeletak tak sadarkan diri. Aku mencoba menyadarkannya selama 5 menit, akhirnya dia bangun.
                “Dimana aku?” Tanya Iwan lemah. “Kita ada di crevasse. Kau ingat?” jawabku.
                Iwan langsung memegangi kakinya yang membentur dinding crevasse. Aku pegang kakinya. Spertinya tulang lututnya remuk, karena tak ada tulang yang kurasakan. Iwan meringis dan menjerit ketika tahu kakinya membentuk pola yang absurd.
                Aku bingung. Bagaimana cara kami dapat keluar dari sini? Sulit bagiku untuk menaiki crevasse ini, ditambah kaki Iwan yang seperti itu, akan mustahil bagi kami dapat mendakinya. Bagi Ivan dan sherpa untuk masuk ke dalam sini pun sulit.
Aku melihat jam. Waktu menunjukkan pukul 23.16. Ternyata 8 jam aku pingsan. Seharusnya Ivan dan tim lain telah sampai di base camp dan meminta pertolongan, tetapi aku ingin keluar dari tempat mengerikan ini secepat mungkin.
****
                Dua hari berlalu. Tim penolong masih belum menunjukkan batang hidungnya, dan aku sudah mulai kehilangan harapan. Bahan bakar milikku sudah habis, maka dengan terpaksa kami harus meminum air langsung dari salju. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya makan es krim di musim dingin? Yah, begitulah rasanya.
                “IVAAAAAN!” aku terus berteriak. Gemanya terdengar dimana-mana, tapi masih tak ada respon balik.
Jam digitalku menunjukkan pukul 07.09. Iwan masih tertidur, sepertinya masih menahan rasa sakit di kakinya. Aku merenung, mengingat-ingat masa-masa yang kulalui sebelum aku tiba di Everest ini. Aku bertanya-tanya, apakah aku akan dapat kuliah di ITB lagi, atau aku hanya akan muncul sebagai berita dalam koran.
‘DUA MAHASISWA DIKABARKAN TEWAS DI GUNUNG EVEREST’
Ah, sial, sial. Aku harus tetap optimis. Itulah kunci utama pendakian.
 Tiba-tiba Iwan berbisik.
“Ah fri, cahaya…. Aku lihat cahaya….” Dia berkata dengan tatapan kosong. Aku pegang tangannya. Dingin.
“Tahan wan! Jangan masuk cahaya itu!”aku khawatir dia akan mati sebentar lagi. Segera aku ucapkan kalimat syahadat di telinganya.
Ngapain kamu.. itu beneran ada cahaya..” dia menunjuk ke arah lubang di dinding crevasse. Luput dari penglihatanku, sepertinya.Terletak agak curam dari tempatku sekarang, tapi masih bisa dilalui.
                “Itu dia! Jalan keluar!”aku berseru kegirangan. “Ayo Iwan, aku akan membawamu keluar!”
Aku membungkus kakinya dengan selimut yang empuk, berusaha untuk tidak mencari masalah dengan kakinya. Lalu dengan sisa tenagaku aku menggendongnya, memanjat dan mendaki ke arah cahaya itu. Aku hancurkan semua stalaktit dan stalagmit es yang ada di jalurku menggunakan kapak es dan crampon di sepatuku. Lalu aku pecahkan es dan salju untuk memperluas lubangnya.
                Aaah, segar sekali udara di luar. Hamparan salju putih telah menungguku, dan aku bisa melihat posisi base camp, mungkin sekitar 300 meter dari tempatku sekarang. Aku keluarkan Iwan dari lubang itu.
                “Makasih fri..”Iwan berkata padaku.
                “Itulah gunanya sahabat wan.” aku membalasnya.
                Tapi perjuangan kami belum selesai. Aku masih harus membawa Iwan ke bawah sana. Aku memutuskan untuk meninggalkan beberapa barang bawaanku. Kau tahu, membawa tas ditambah orang seberat 60 kilo, itu bisa membunuhku.
****
                Sekitar 3 jam penuh perjuangan aku berhasil mencapai base camp. Ivan dan Fathir yang masih dirawat segera menyambut kedatangan kami. Mereka takjub bagaimana kami dapat keluar dari rekahan es itu dengan selamat. Sebenarnya aku sendiri juga takjub.
                “Sori Afri, kami pikir kalian udah tewas saat itu. Kami juga sudah mencoba cari kalian dengan bantuan tim evakuasi, tapi ternyata kalian nggak ketemu.”Ivan menjelaskan padaku.
                Aku sempat kesal, tapi apa boleh buat, inilah yang terjadi. “Tak apa-apa kok, inilah yang kusebut pengalaman.” ujarku sambil sedikit tertawa.
Iwan masih harus mengalami perawatan ekstra karena tempurung lutut kanannya hancur, sementara aku masih harus beristirahat selama setidaknya 2-3 hari karena ada kerusakan otot. Yah, lebih baik daripada harus terkubur bertahun-tahun menjadi mayat di crevasse.
****
                “Selamat, boy. Kau telah melakukan hal yang bersejarah.” Ivan mengucapkan salam perpisahan denganku. Dia masih ingin tinggal di EBC untuk sementara waktu, ada urusan kecil. 
                Kami meninggalkan base camp menuju desa Lukla untuk menaiki pesawat kecil kembali ke Kathmandu, ibu kota Nepal. Keadaan Iwan sudah lumayan membaik, walaupun gips di kakinya masih menempel. Mau dijadikan oleh-oleh katanya.
                Di pesawat, untuk sekali lagi aku menoleh ke arah puncak gunung Everest-sebagai salam perpisahan mungkin. Aku membayangkan sang Merah Putih kembali berkibar di puncaknya. 

TAMAT


Komentarnya jangan lupa ya.. ^^

2 komentar:

  1. Yeah. You got it, Azhar!

    Bagus, kok. Cuma, ketegangannya agak kurang terbangun dan memuncak dengan baik. Tiba-tiba jatuh begitu saja.

    Segitu dulu,
    Fadhil.

    BalasHapus
  2. Hmm, ternyata masih kurang tegang, ya...

    Apa cuma di bagian itu aja yang kurang terbangun?
    Oke deh, kalau gitu nanti dicoba direvisi lagi

    Makasih atas kritik dan sarannya!

    BalasHapus